Wednesday 7 March 2012

KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat”; “Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi Khalifah di muka Bumi”.
Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu”.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
B. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi masalahnya sebagai berikut :
a. Hakikat pemimpin
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dalam manajemen pendidikan
c. Profesionalita Kepemimpinan Pendidikan

BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN
A. Hakikat Pemimpin
“Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.”
Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengnaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, kareana apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan
Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah, sebagai berikut :
1. Kepribadian (personality), ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.
2. Perilaku.
3. Karakteristik, Perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
4. Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
5. Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.
Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
1. Sebagai pelaksana (executive)
2. Sebagai perencana (planner)
3. Sebagai seorang ahli (expert)
4. Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)
5. Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)
6. Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)
7. Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
8. Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)
9. Merupakan lambang dari pada kelompok (symbol of the group)
10. Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)
11. Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)
12. Bertindak sebagai seorang ayah (father figure)
13. Sebagai kambing hitam (scape goat).
Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebasan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
C. Profesionalita Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan sangat berperan dalam pencapaian suatu tujuan lembaga atau pun organisasi. Kepemimpinan yang amanah dan bertanggung jawab dapat membawa lembaga atau organisasi maju dan berkembang. Kepemimpinan juga sangat erat kaitannya dengan power atau kekuasaan. Kepemimpinan yang prospektif ditentukan oleh sang pemimpin yang menjadi top leader dari suatu lembaga atau organisasi.
Pada lembaga pendidikan top leader itu bisa dalam jabatan kepala sekolah, dekan, rektor dan sebagainya. Top leader pada lembaga pendidikan memerlukan beberapa persyaratan utama yang merupakan nilai lebih untuk mempengaruihi, mengarahkan dan memimpin lembaga atau organisasinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
1. Persyaratan Pemimpin Pendidikan
Banyak teori yang membahas tentang pemimpin, kepemimpinan, kekuasaan dan manajerial yang menyorot dari bermacam-macam sudut pandang, baik dari segi agama, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Koran SINDO, Selasa, 12 Agustus 2008, halaman 05, mengemukakan ada 6 kompensasi kepala sekolah yang harus diperhatikan:
1. Kepemimpinan
2. Kepribadian
3. Sikap sosial
4. Manajerial
5. Supervisi
6. Kewirausahaan

Seorang kepala sekolah disamping persyaratan pendidikan harus menguasai kepemimpinan secara teoritik dan praktik, juga harus mempunyai kepribadian yang lembut, tegas, visioner, adil dan berdisiplin. Kepala sekolah memperhatikan kesejahteraan guru dan pegawai. Peduli kepada sekolah dan komponen-komponen sekolah lainnya. Sebagai orang nomor 1 di sekolah, seyogyanyalah kepada sekolah seorang yang mengerti manajemen, sehingga manaemen kinerjanya tertata secara baik.

Kepala sekoah sebagai pemimpin harus melakukan supervise secara terprogram untuk mengetahui apakah program sekolah telah terimplementasi secara baik atau belum. Hasil supervise bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah program. Di era global sekarang seorang kepala sekolah harus mempunyai jiwa kewirausahaan, agar bisa mencari uang untuk kemajuan sekolah, baik untuk pembangunan fisik sekolah, kesejahteraan guru maupun untuk meningkatkan mutu akademik sekolah.

Berdasarkan PERMEN DIKNAS No. 16 tahun 2007 tentang Standar Akademik Kepala Sekolah dan Madrasah adalah bahwa Kepala Sekolah harus memiliki 5 kompetensi :
1. Kompetensi Kepribadian
2. Kompetensi Manajerial
3. Kompetensi Kewirausahaan
4. Kompetensi Supervisi
5. Kompetensi Sosial

Kemudian diikuti oleh PERMENDIKNAS No. 16 tahun 2007 tentang Standar Akademik Guru dan Standar Kompetensi paedagogik dan pembelajaran. Untuk guru sekarang harus bersantar S1 dan untuk Dosen berstanda S2.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Tugas pemimpin dalam kepemimpinannya meliputi : 1. menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok, dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai. 2. meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.
Pemimpin yang professional adalah pemimpin yang memahami akan tugas dan kewajibannya, serta dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan.
B. Saran-saran
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Hendaknya para pemimpin, khususnya pemimpin dalam bidang pendidikan dalam melaksanakan aktivitas kepemimpinannya, mempengaruhi para bawahannya berdasarkan pada kriteria-kriteria kepemimpinan yang baik.
2. Dalam membuat suatu rencana atau manajemen pendidikan hendaknya para pemimpin memahami keadaan atau kemampuan yang dimiliki oleh para bawahannya, dan dalam pembagian pemberian tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
3. Pemimpin hendaknya memahami betul akan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
4. Dalam melaksanakan akvititasnya baik pemimpin ataupun yang dipimpin menjalin suatu hubungan kerjsama yang saling mendukung untuk tercapainya tujuan organisasi atau instansi.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Analisis Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Malang : Bumi Aksara, 1994).
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981).
Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999).
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996).
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung : Alfabeta, 2005).
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995).

Monday 5 March 2012

makalah islam dan modernitas

ISLAM DAN MODERNITAS
A. Pendahuluan
Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu permasalahan krusial yang dihadapi oleh kaum Muslimin dewasa ini. Secara historis, proses modernisasi di dunia Muslim sebenarnya sudah berlangsung lama, tepatnya sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke-18 M.
Negara-negara Eropa tidak sekedar melakukan kolonialisasi tetapi lebih dari itu, mereka juga membawa misi untuk menancapkan mega proyek yang disebut “modernisasi”, berupa paket besar dari Barat yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama bahkan budaya. Akibat modernisasi yang kadang-kadang terlihat sengaja dipaksakan itu, telah menimbulkan kontradiksi-kontradiksi di dunia Islam khususnya Timur Tengah.
Uniknya, ketegangan teologis ini secara tak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum Muslimin yang berupa aliran-aliran pemikiran keagamaan yang kemudian memperkaya pemikiran dan khazanah intelektual-keagamaan Islam. Di antaranya, apa yang terkenal dengan sebutan Modernisme Islam, Tradisionalisme Islam, Fundamentalisme Islam, Neo Modernisme Islam, Neo Fundamentalisme Islam dan Post Tradisionalisme Islam.
B. Latar Belakang Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini, terdari dari :
1. Apa pengertian modernisasi?
2. Bagaimana Akar Historis Pergulatan Islam Dan Modernitasn?
3. Bagaimana Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia?



C. Pembahasan
1. Pengertian Modernisasi
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original melainkan “diekspor” dari bahasa asing (modernization), berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pemaknaan yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan modernisasi adalah mencakup “pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainnya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Di kalangan orientalis sendiri menilai reaksi modernisasi yang dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “apologetis” terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Sehingga dengan demikian jelas dari perspektif historis harus diakui bahwa istilah modernisasi ini untuk pertama kali diperkenal bukan oleh sarjana Muslim didunia Islam melainkan oleh sarjana Barat dalam konteks gejala keagamaan atau lebih tepat disebut sebagai suatu aliran yang muncul dari tubuh agama Kristen dengan munculnya gerakan “pembacaan baru” terhadap doktrin kegamaan supaya terkesan lebih sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi,10 dan sangat dimungkin kalau para modernis awal di kalangan dunia Islam sangat terinspirasi dari gejolak modernisasi keagamaan.
2. Akar Historis Pergulatan Islam Dan Modernitas
Secara historis, proses modernisasi di dunia Muslim sebenarnya sudah berlangsung lama, tepatnya sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke-18 M. Masuknya modernitas ke dalam dunia Muslim melewati suatu proses yang disebut dengan l’irruption (bahasa Perancis) yang berarti serbuan (militer). L’irruption pertama kali terjadi ketika Napoleon Bonaparte melakukan ekspedisi ke Mesir tahun 1798-1801. Ekspedisi Napoleon selanjutnya tidak hanya bermakna penaklukan militer tetapi juga eksplorasi ilmiah, karena selain membawa pasukan Napoleon juga membawa serta sekitar 500 ilmuwan ke Mesir.
Pada periode berikutnya setelah Mesir berhasil ditaklukkan dan kemudian merambah ke wilayah lain, kaum Muslim secara tidak langsung seperti disadarkan akan kelemahan-kelemahannya. Bersamaan dengan ekspedisi Napoleon itu, berturut-turut negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Italia juga melakukan kolonisasi dibeberapa negara Muslim. Bahkan, negara-negara Eropa itu tidak hanya melakukan kolonisasi, tetapi juga proses modernisasi, suatu paket besar yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama dan budaya. Akibat proses modernisasi sebagai produk kolonialisme yang awalnya lebih bersifat Eropanisasi dan Westernisasi itulah kemudian muncul ketegangan di negara-negara Muslim.
Menurut Daniel Lerner, Ketegangan itu akhirnya melahirkan semacam ‘kegagapan’ kaum Muslim dalam mengawinkan Islam sebagai entitas yang sakral, dengan modernitas sebagai entitas yang profan. Sementara, W. Brand menjelaskan fenomena ketegangan itu sebagai ‘salah baca’ kaum Muslim terhadap modernitas. Menurutnya, hal ini bisa dilihat dalam kasus Turki tahun 1924; ketika Mustafa Kemal Attaturk melakukan serangkaian modernisasi, yang popluer dengan istilah ‘Kemalisme” dengan 6 prinsipnya yakni, republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan reformisme. Melalui proyek ‘kemalisme’nya, Kemal melakukan perombakan total seluruh institusi politik dan kultural di Turki untuk kemudian diselaraskan dengan Barat, meski pada akhirnya gagal total dan Kemal dicemooh karena kecerobohannya.
Kaum pembaharu di Turki, khususnya kelompok Kemal, dalam menjalankan proyek modernisasinya hanya melibatkan teknikalisme bangsa Turki. Ada dua kesalahan utama dalam pembaharuan di Turki. Pertama, adanya kompleks psikologis dalam rangka penegasan ide tentang modernitas (misalnya; Turki ingin diakui sebagai Eropa “yang maju”, dibanding sebagai Asia “yang terbelakang”. Kedua, adanya pemutusan warisan (tradisi) kultural yang sudah berakar sebelumnya di masyarakat, khususnya yang menyangkut tradisi masyarakat Turki dan huruf Arab.
Berbeda dengan Turki, Jepang justru melakukan modernisasinya, bukan dengan cara menginginkannya disebut sebagai Eropa, tetapi dengan cara menegaskan keasliannya (originality). Jepang juga tidak melakukan pemutusan warisan (tradisi) kulturalnya, tetapi melakukan asimilasi jiwa kemodernan dengan kultur asli Jepang. Sumber inspirasi untuk menjadi modern bukan Eropanisasi, tetapi semangat dan jiwa keagamaan Jepang yakni Tokugawa. Pada perkembangan selanjutnya, berbeda dengan Turki yang terbukti gagal dengan upaya modernisasinya, Jepang sejak Restorasi Meiji 1868 justru berhasil menunjukkan keberhasilan modernisasinya kepada dunia internasional, meskipun sempat mengalami jatuh bangun.
Singkatnya, banyak tokoh yang sepakat bahwa proses modernisasi yang telah dan sedang berlangsung di berbagai belahan dunia Muslim akan mengalami banyak hambatan jika melupakan tradisi. Jepang yang memanfaatkan tradisi sebagai khasanah kultural untuk menjadi modal dalam proses modernisasi itu terbukti berhasil. Sementara, Turki yang mengabaikan hal itu justru dianggap gagal.
3. Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia
a. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi pembaharuan dan modernisasi yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868±1923). Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari apa yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat). Muhammadiyah mempelopori penentuan arah kiblat secara eksak, penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan, shalat hari raya di lapangan, pemberian khutbah dalam bahasa yang difahami jemaah, penghilangan bedug dari mesjid; penyederhanaan upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan pengurusan jenazah.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik.
Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, disamping perkumpulan Siswa praja Wanita dan Siswa praja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’at ul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932.
b. Persatuan Islam
Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan yang bersifat ³caberawit´: kecil tetapi pedas. Itulah organisasi Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung tanggal 17 September 1923 atau 5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang, Kyai Haji Zamzam (1894±1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tokoh Persatuan Islam yang terkenal adalah Ahmad Hassan (1887±1958).Lahir dan besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan yang disebarkan majalah Al-Imam. Ahmad Hassan berpendapat bahwa pintu ijtihad harus dibuka dengan cara shock therapy, sehingga umat Islam terbangun dari tidur lelap. Jika Muhammadiyah mengutamakan aksi-aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit dan panti asuhan, maka Persatuan Islam mengutamakan da`wah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku dan majalah, menyelenggarakan debat publik, dan berpolemik di media massa. Buku-buku dan majalah yang diterbitkan Persatuan Islam menjadi bahan rujukan bagi kaum modernis diIndonesia, terutama majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Demikian pula seri 11 buku So’al Djawab karya Ahmad Hassan tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.
c. Kaum Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis. Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama. Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idrisasy-Syafi`i (767-820) dalam masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700±767), mazhab Malik ibn Anas (711±795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780±855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873±935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896±944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828±910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058±1111) dalam masalah tasawuf.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871±1947). Kemudian menyusul duaorganisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyahal-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349).
Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i. Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam.




D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original melainkan “diekspor” dari bahasa asing (modernization), berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pemaknaan yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya di jaman modern.
Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu 'modernisme'. Modernisme dan modernisasi dalam Islam lahir pada periode modern dalam sejarah Islam
2. Saran
Dalam menyikapi modernisasi, kaum muslimin terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, yang menerima ide barat secara mutlak; kedua, yang menolak sama sekali ide barat; dan ketiga, yang menerima secara selektif. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki kaumpembaharu´ hendaknya lebih meningkatkan ijtihad dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga arahnya.








DAFTAR PUSTAKA
Daniel Lerner, Memudarnya Masyarakat Tradisional, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983).
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
Nurcholish Madjid, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas.
Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekulerisasi, Cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994),
Sumanto al-Qurtubi, Proyek Membangun Jalan Tengah: Membaca Pemikiran Hukum KH Sahal Mahfudz, dalam Jurnal Taswhirul Afkar, 2001, Post Tradisionalisme Islam: Ideologi dan metodologi, Jakarta: Lakpesdam NU.